Tarif Pajak
a. PPh
Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah:
1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan
(PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk mengimbangi tarif PPh yang berlaku di
negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di
dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
(WP).
a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh
tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif
dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan
penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp
200 juta menjadi Rp 500 juta.
b. Bagi WP badan, tarif PPh yang
semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28%
di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk
menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice.
Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5%
dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh
masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak
perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate
governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi
perusahaan.
c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan
diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku
terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif
tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya
memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian
insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha
Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari
peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas
WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan
kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
e. Bagi WP pemberi jasa yang semula
dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari
peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan
keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada
penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode
ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif
lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.
f. Bagi WP penerima dividen yang
semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%,
menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong
perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya
investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan
kepatuhan WP.
2. Pembebasan kewajiban pembayaran
fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta
penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal
luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan
bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal
luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki
NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat
yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal
luar negeri layak dihapuskan.
3. Peningkatan nilai Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2
juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga
ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling
banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya
dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.
4. Penerapan tarif
pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP
a. Pengenaan tarif 20% lebih tinggi
dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh
Pasal 21.
b. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi
dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh
Pasal 23.
c. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi
dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh
Pasal 22
5. Perluasan biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan
fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam
kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang
penghasilan bruto.
a. Sumbangan dalam rangka
penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas
pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan
olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia.
6. Pengecualian dari objek PPh
a. Sisa lebih yang diterima atau
diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama
dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau
diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang
diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak
7. Penegasan surplus Bank Indonesia
sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap
penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang
PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian
surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang
diatur dalam UU PPh.
8. Peraturan perpajakan untuk
industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang
usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah,
diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak
baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.
Khusus untuk WP Badan sebelumnya
berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17
ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008
dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih
lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.
UU PPh nomor 36 tahun 2008 berlaku
efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal
28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25%
untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).
Sesuai Pasal 31E ayat (1)
menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
b. PPN dan PPn
BM
Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO.
18/2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup dilakukan
dengan penerbitan peraturan menteri. Namun kewenangan tersebut dicabut pada UU
PPN dan PPn BM yang baru disahkan DPR.
Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO.
18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup
dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri sedangkan untuk ketentuan yang
baru, dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, penetapan
kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tariff PPnBM paling
rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui Peraturan Pemerintah. sedangkan
untuk tariff PPN diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009
menyebutkan, tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah menjadi paling rendah
5% dan paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. UU No. 42
Tahun 2009 secara resmi berlaku sejak 1 April 2010.
c. PPN dan PPn
BM
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk
Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek
pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat
memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.
Selain mengubah besaran tarifnya, UU
ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai
Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100
persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak
dipergunakan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar